Pahlawan
Hidupku
created by shema alleysia
BABAK 1
Suasana : Ramai
Latar Panggung : Pasar
Di sebuah perumahan kumuh di pinggiran kota, tinggal
sebuah keluarga yang harus mengalami kerasnya hidup. Awalya mereka adalah
keluarga paling kaya seantero jagat. Namun karena ayahnya terlibat kasus
korupsi, mereka pun jatuh miskin. Ayahnya di penjara, sedangkan istri dan
anak-anaknya harus bekerja banting tulang hanya untuk sesuap nasi.
Idvan : (sambil menyeka keringat dengan karung
berisi terigu di punggungnya) “Hidupku memang tidak seperti dulu, senyum tak
disapa, menyapa tak dianggap. Walau terasa hina hidup ini, ku yakin aku bisa
melewati masa sulit ini.”
Dewi : (Datang dengan mengenakan seragam sekolah)
“Hey, kau disuruh lagi sama ibu galak itu ?” ( sambil membersihkan debu di bahu
Idvan)
Idvan : “Sudahlah, jangan menjelek-jelekan dia ! Bagaimanapun
sifatnya, dia adalah ibuku juga !“( menyimpan karung terigu tersebut di tanah
sambil berusaha tersenyum)
Dewi : “Kau itu hanya kurang beruntung kawan,
andai saja ibu kandungmu masih hidup.”(wajahnya
terlihat sedih)
Idvan : “Wi, tolong jangan ungkit-ungkit ibuku lagi,
ibuku sudah tenang di alam sana !” (tersenyum)
Dewi : “ Maaf Van, aku tidak bermaksud untuk
menyinggung perasaanmu.” (sambil menghibur Idvan)
Idvan :” Aku ngerti kok! Ya sudah, aku harus
mengantarkan ini ke sebuah toko, kalau tidak aku dan keluargaku tidak bisa
makan malam ini !” (mencoba untuk mengangkat karung tersebut)
Dewi :” Andai saja aku tidak ada les Bahasa Korea, pasti
aku akan membantumu Van !” (Wajahnya terlihat menyesal)
Idvan : “Jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan
pekerjaan ini ! Tapi kenapa kamu les Bahasa asing bukan Bahasa Indonesia atau
bahasa daerah yang ada di Indonesia?” (Idvan merasa penasaran)
Dewi : “Kamu kok kuno banget sih Van.” (tersenyum
meledek) “Bahasa Indonesia kan di sekolah juga diajarin. Di kota ini banyak
pendatang dari seluruh pelosok Nusantara, jadi otomatis mereka tahu bahasa
daerah mereka sendiri, kita coba tanya ke mereka apa susahnya, gampang kan.
Untuk Bahasa daerah cukup tahu aja kali ya. Dah... Idvan !” (dia melambaikan
tangannya da pergi)
Idvan : (Dia tersenyum dan melihat Dewi sampai Dewi
tak nampak lagi) “ Andai kata orang yang seperti Dewi banyak, pasti tidak lama
lagi bahasa daerah Nusantara akan musnah, entahlah aku bingung dengan keadaan
negara ini sekarang. “
Dia pun melanjutkan pekerjaannya dengan memikul
puluhan katung berisi terigu dari sebuah mobil untuk dipindahkan ke toko.
Diapun mendapatkan upah dari hasil kerjanya tersebut. Kemudian ketika dia
hendak pulang, dia menemukan sepotong roti di tumpukan sampah pinggir jalan
yang masih layak makan dan karena perutnya merasa lapar, dia pun duduk dan memakannya.
Idvan : (beranjak dari tempat duduknya) “Sepertinya
hari sudah menjelang sore, aku harus cepat pulang dan memberikan uang ini pada
Ibu. Kalau tidak Ibu bisa marah-marah lagi.”
BABAK II
Suasana : Sore hari
Latar Panggung : Halaman Rumah
Idvan pulang dengan hanya membawa uang 10.000 di
saku celananya. Terlihat Ibunya sedang menyapu di halaman rumahnya. Diapun
langsung menghampirinya.
Idvan : “Ini hasil kerjaku hari ini !” (dia
mengambil uang itu dari saku celananya dan memberikannya kepada ibunya)
Ibu Lilis : “Seharian kau melanglang buana, hanya
ini yang kau dapat ? Sungguh anak tiri yang tidak berguna.” (dengan wajah yang
merendahkan)
Idvan : (dengan wajah yang lembut) “Bu, aku telah
mengorbankan sisa waktu mudaku demi memenuhi tuntutan tugas dari ibu. Jadi
tolong hargai usahaku.”
Ibu Lilis : “Apa kamu tidak tahu atau pura-pura
tidak tahu ? Perut kosong ini tidak bisa diisi dengan harga 10.000 saja.”
Idvan :” Aku tahu Bu, tapi mungkin itu cukup untuk
makan malam kita nanti !”
Ibu Lilis : “Makan malam kamu bilang ?” (menjewer
kuping Idvan) “Tidak ada makan malam untuk kamu dan adikmu malam ini !”
Idvan : “Jika aku tidak diperbolehkan makan aku tak
masalah, tapi aku mohon Biarkan Helen makan ?” (dia meringis dan berlutut di
depan Ibunya)
Ibu Lilis : “Jika ada makanan sisa baru kamu dan
adikmu boleh makan.” (dia pergi meninggalkan Idvan)
Idvan hanya tertunduk. Kemudian Helen datang dengan
segelas air di tangannya.
Helen : “Kakak pasti capek sekali.” (menghampiri dan
memberikan air itu kepada Idvan)
Idvan : (setelah meneguk air tersebut) “Apa kamu
sudah makan ?”
Helen : “Aku baru akan makan jika Kak Idvan juga
makan !” (wajahnya terlihat sangat polos) “Lagi pula aku dengar kita tidak akan
dikasih makan sama Ibu malam ini, bukan begitu Kak ?”
Idvan : (berusaha untuk tersenyum) “Ibu hanya
bercanda adik manis, malam ini kita pasti makan.” (meyakinkan) “Sekarang kita
masuk yu, hari sudah mulai gelap.” (berdiri dan merangkul adiknya untuk
bersama-sama masuk ke rumah)
BABAK III
Suasana : Pagi Hari
Latar Panggung : Halaman Rumah
Namun tidak ada sesuap nasi pun yang dimakan oleh
Idvan dan Helen malam tadi. Ketika Idvan bersiap-siap untuk pergi memulung, dia
melihat adiknya sedang menangis di teras rumah sambil memegangi perutnya.
Idvan : (menghampiri Helen) “Kenapa Len ? Ibu marah
lagi padamu ?”
Helen : (sambil menangis, dan menggelengkan kepala)
Idvan : “Terus kenapa ?”
Helen : “Lapar Kak.”
Idvan : “Kakak akan coba cari makanan ke dapur,
siapa tahu ada makanan sisa yang semalam.”
Helen : “Jangan Kak !” (mencegah Idvan) “ Nanti
kalau Ibu tahu, Kakak dimarahi !”
Idvan : “Jangan khawatir, Ibu tidak ada di rumah
kok.”
Dia bergegas masuk ke dalam rumah, tidak lama
kemudian dia datang lagi.
Idvan : (membawa sepiring nasi dan segelas air
minum) “Syukurlah, ternyata masih ada makanan sisa. Tapi maaf Len, lauknya
tidak ada.” ( memberikan nasi tersebut dengan wajah yang terlihat sedih)
Helen : “Tak apa Kak, yang penting kita masih bisa
makan.”
Idvan: “Kok kita sih ? Yang lapar kan kamu !”
(kebingungan)
Helen : “Jangan bohong Kak, Helen tahu Kakak juga
lapar. Pokoknya Kakak harus makan bareng sama Helen! Kalo engga, Helen engga
mau makan.” (dengan nada mengancam)
Idvan : “Baiklah !”
Dengan penuh kasih sayang Helen menyuapi Kakaknya.
Merekapun makan dengan lahapnya walau hanya nasi sekedarnya.
Idvan : “Siang ini Kakak akan mengunjungi Ayah di
Penjara ! Mau ikut ? Nanti Kakak jemput Helen ke sekolah !” (mengambil air dan
meminumnya)
Helen : “Aku ada latihan nyanyi buat lomba Kak !”
(sambil mengunyah makanan)
Idvan : “Lomba ? Kok Kakak baru tahu sekarang kalo
kamu pinter nyanyi. Lagu apa yang kamu bisa ?”
Helen : (nasi dipiringnya telah habis) “Gak terlalu
banyak sih Kak, tapi Helen paling suka lagu indonesia, terutama bengawan solo.”
(wajahnya memerah tersipu malu)
Idvan : “Wah, hebat dong. Kapan-kapan kamu mau kan
nyanyi buat Kakak ?” (menggoda Helen)
Helen : “Jika Kakak memiliki waktu luang, Helen
pasti bakal nyanyi sepuasnya buat Kakak ! (meyakinkan)
Idvan : “Kalo begitu, mau titip salam ke Ayah ?”
Helen : “Helen minta Ayah datang di lomba nanti,
bisa kan Kak ?” (tersenyum manja)
Idvan : (terdiam) “Kakak tidak tahu, tapi Kakak akan
coba bilang ke Ayah. Baiklah adik manis, ini waktunya berangkat sekolah. Ayo !”
(beranjak dari tempat duduk dan pergi ke sekolah)
BABAK IV
Suasana : Pagi menjelang siang
Latar panggung : Sekolah
Sesampainya di depan sekolah, Helen mencium tangan
Idvan dan masuk ke dalam sekolah. Helen pun tidak langsung masuk ke kelas. Dia
duduk di teras depan kelasnya.
Mela : “Yang tadi itu Kakak kamu ?” (menghampiri
Helen)
Helen : “Iya, tampan kan ?” (tersenyum bangga)
Mela : “Dia tidak sekolah Len ?” (penasaran)
Helen : “Setelah tamat SD, tia tidak melanjutkan
lagi sekolah.” (wajahnya terlihat sedih)”
Mela : “Kenapa ?”
Helen : “ Ibuku tidak terlalu cukup uang untuk bisa
menyekolahkan kami berdua sehingga Kak Idvan merelakan sekolahnya dan bekerja.
Awalnya akupun ingin berhenti sekolah dan membantu Kak Idvan, tapi dia
melarangku. Katanya sekolah itu penting, cukup Dia saja yang merasakan putus
sekolah.”
Mela : “Tapi kalo aku lihat dia itu anak yang
cerdas, bukan begitu ?”
Helen : “Tentu saja, bahkan untuk sejarah bangsa
Indonesia dia hafa di luar kepala. Tentang hari bersejarah, nama-nama pahlawan
Indonesia, bahkan riwayat hidupnya.“
Mela : “Benarkah ? Bagaimana cara dia menghafal
semua itu, sedangkan waktunya sangat sibuk untuk bekerja ?”
Helen : “Ketika menjelang tidur, Kakak selalu
memintaku untuk mengajarkannya sejarah.”
(bel masuk berbunyi)
Mela : “Kepribadian Kakakmu itu sepertinya menarik,
nanti kita sambung lagi ya ceritanya. Sekarang kita masuk yu !” (menggenggam
tangan Helen dan masuk ke kelas)
Di tempat yang berbeda, ketika Idvan menelusuri
jalan sembari mencari botol bekas, dia melihat Dewi yang tengah asyik
memandangi sebuah poster artis luar negeri di depan sekolah.
Idvan : “Sendiri aja nih, belum masuk kelas ?”
Dewi : (tidak menjawab dan tetap memandangi dan
menghapal nama-nama artis yang ada di poto tersebut)
Idvan : “Hebat ya, kamu bisa hafal betul nama-nama
mereka.” (melihat ka arah poto yang di pegang Dewi)
Dewi : “Iya dong, mereka itu orang-orang hebat.”
(membanggakan)
Idvan : “Bagaimana dengan pahlawan-pahlawan
Indonesia ? Bukankah mereka lebih hebat ?”
Dewi : “Iya, aku tahu kok Van mereka sangat hebat.
Tapi itu kan masa lalu.”
Idvan : “Masa lalu yang membawa perubahan besar pada
negeri ini. Dan aku yakin kamu tidak hafal semua nama-nama mereka.”
Dewi : “Idvan, coba deh kamu tuh berfikir realistis
aja. Di zaman sekarang ini mana ada orang yang hafal semua nama-nama pahlawan
nasional. Haha mustahil.”
Idvan : “Jika ada, bagaimana ?”
Dewi : “Kalo beneran ada, aku akan berhenti untuk
menggilai artis-artis ini dan menghafal pahlawan-pahlawan nasional tersebut.”
(menantang)
Idvan : (tersenyum ketus) “Jangan berkata
sembarangan, karena bisa jadi orang yang hafal pahlawan nasional itu adalah
teman dekatmu sendiri.” (dia beranjak dari tempat duduknya)
Dewi : “Tunggu, maksudmu....”
(Tiba-tiba bel masuk berbunyi)
Idvan : “Sudahlah masuk sana, lagi pula aku juga
harus bekerja.” (sembari melangkah dan pergi)
Dewi : (hanya terdiam sembari dia memandangi Idvan
yang semakin menjauh) “Apa munggkin dia ?” (kebingungan) “Ah.. tidak mungkin.”
(beranjak dan memasuki kelas)
BABAK V
Suasana : Hening
Latar Panggung : Penjara
Di ruang kunjungan, Idvan berbicara serius dengan
Ayahnya yang semakin hari terlihat semakin kurus kering.
Idvan : “Bagaimana kondisi kesehatan ayah sekarang?”
Ayah : “Baik nak, bagaimana kondisi kamu sendiri dan
adikmu, Helen?”
Idvan : “Alhamdulillah, kami semua sehat. Yah, ada
titipan pesan dari Helen”
Ayah : (alis naik) “Apa itu ?”
Idvan : “Euu.. ini Yah, 2 hari lagi Helen akan
mengikuti lomba bernyanyi, ia ingin Ayah datang dan mendukungnya.”
Ayah : (tertunduk)”....”
Idvan : “Bagaimana Yah ? Apakah Ayah bisa
menyanggupi permintaan Helen?”
Ayah : “Andai saja bisa nak..”
Idvan : “Tapi yah, ini suatu hal yang penting untuk
Helen!”
Ayah : “Ayah tahu, tapi Ayah tidak bisa melakukan
apa-apa!”
Idvan : “Ah, andai saja Ayah tidak melakukan korupsi
pasti minggu depan kita sekeluarga bisa mendukung Helen!” (sesenggukan)
Ayah : (hanya terdiam)
Ayah : (hanya terdiam)
Idvan : “Kalau saja dulu tidak terjadi kecelakaan
maut itu, pasti Ibu masih ada di tengah-tengah kita sekarang.
Ayah : (semakin tertunduk dan merasa bersalah) “
Bagaimana dengan Ibu tirimu ?”
Idvan : “(tersenyum ketus) “Andai saja Ayah tidak
menikah lagi, pasti penderitaanku tidak akan separah ini.”
Ayah :”Sudahlah nak, jangan berbicara seperti itu.
Ayah tahu semua penderitaanmu itu adalah kesalahaan Ayah.”(merendahkan diri)
Sipir : “Waktu menjenguk habis!” (sambil menarik
ayah)
Ayah : “Maafkan Ayah tidak bisa menjadi Ayah yang
baik untuk kalian”
Idvan : “....” (berjalan lemas meninggalkan ruangan
kunjungan)
BABAK VI
Suasana : Tragis
Latar Panggung : Halaman Rumah
Batin Idvan tertekan. Air matanya tertahan. Ditambah
lagi ketika dia pulang, dia melihat adik kesayangannya menangis di tempat
ketika mereka makan bersama pagi tadi.
Idvan : (berlari menghampiri Helen) “Kenapa manis ?
Kok nangis lagi ?”
Helen : (menunjukan luka di tangannya sambil tetap
menangis)
Idvan : “ Tanganmu ? Kenapa bisa luka-luka seperti
ini ?” (dia meniupi tangan Helen yang terluka)
Tiba-tiba Ibu Lilis keluar membawa tas besar.
Idvan : “Mau kemana Bu ?” (dengan wajah yang kesal)
Ibu Lilis :” Bukan urusanmu.” (berjalan menjauhi
Idvan dan Helen)
Idvan : “Tunggu Bu ! Kau mau lari dari tanggung
jawab setelah kau lukai adikku ?” (menunjukan luka di tangan Helen) “Bukan
hanya kali ini kau memukulinya, bahkan sering. Dan sekarang kesabaranku habis.”
Ibu Lilis :” Itu karena adikmu nakal. Sudahlah, aku
sudah muak dengan semua ini. Biarkan aku pergi. Aku sudah bosan hidup miskin.
Aku akan mencari lelaki baru yang lebih kaya. Tidak seperti Ayahmu yang tidak
berguna” (pergi meninggalkan Idvan dan Helen)
Idvan : “Ibu..Ibu... tunggu Bu !”
Tidak ada jawadan dari Ibunya. Helen menangis semakin
kencang. Dan Idvan hanya terdiam memeluk adiknya.
Idvan: “Jangan nangis lagi, selama ada Kakak kamu
bakal aman.” (mencoba menenangkan) “Mana tanganmu biar Kakak obati.”(mengajak
Helen duduk)
Helen :”Aku takut Kak, aku takut Ibu kembali dan
memukuliku.”(tangannya ditiupi Idvan)
Idvan :”Dia tidak akan kembali ! Kakak jamin.”
(meyakinkan)
Helen tidur dipangkuan Idvan.
Helen :”Apakah Kakak lelah ? Aku tidak pernah
mendengar Kakak mengeluh dengan semua ini.”
Idvan:”Apa yang harus dikeluhkan ? Ingatkah kamu
saat zaman penjajahan dulu? Para pahlawan kita berjuang tanpa mengenal kata
menyerah. Contoh Bung Tomo, dengan semboyannya Beliau bisa menyingkirkan
kekuasaan Belanda di Surabaya. Dan sampai sekarang jasa Beliau diperingati
sebagai hari Pahlawan. Ingatkah kamu tanggal berapa itu ?”(dia mengelus rambut
Helen)
Helen:”10 November, benarkan ?” (tersenyum merasa
menang) “Kakak itu juga pahlawan bagiku. Kelak kalo aku udah besar, aku gak mau
menikah. Aku mau membahagiakan Kakak aja.
Idvan : “Semua orang pasti bakal menikah Len,
termasuk kamu.”
Helen:”Tapi kalau aku telah menikah, kita akan
berpisah Kak.” (wajahnya murung dan matnya mulai tertutup)
Idvan: (tidak memperhatikan Helen) ”Kakak tidak akan
pernah meninggalkan kamu sendirian. Kakak akan selalu membahagiakan kamu. Kakak
akan berusaha untuk menjadi apa yang kamu inginkan dan Kakak juga...” (melihat
Helen yang telah tertidur lelap, dia hanya tersenyum)
Idvan pun menggendong adiknya masuk ke dalam rumah.
BABAK VII
Suasana : Ramai
Latar Panggung : Pasar
Beberapa hari tanpa kehadiran Ibu Lilis bagai
terbebas dari dekapan harimau yang siap menerkam bagi Idvan dan Helen. Tidak
ada lagi tekanan-tekanan yang mereka alami dulu. Mereka pun menjalani aktivitas
sehari-hari seperti biasanya. Ketika Idvan beristirahat di depan toko yang
tutup, Dewi datang mrnghampiri.
Dewi : (memberikan minuman dalam botol) “Penghilang
dahaga !” (tersenyum manis)
Idvan : (meminummya) “Bukankah hari ini jadwal kamu
les bahasa Asing ?”
Dewi : (menghela napas) “ Aku sudah tidak ikut lagi
!”
Idvan : “Kenapa ?”
Dewi : “Seseorang telah menyadarkanku.”
Idvan : (Mengangkat alis)
Dewi : “Aku berhenti mencari lebih mendalam tentang
dunia barat setelah aku menemukan seseorang yang hafal betul tentang Indonesia.
Sejarahnya, pahlawannya, bahkan riwayat hidupnya.”
Idvan : (mencoba menebak-nebak)
Dewi : “Jangan pura-pura tidak tahu, adikmu telah
meceritakan semua tentangmu padaku.
Sekarang coba kamu sebutkan satu persatu pahlawan
Revolusi.”(menantang)
Idvan : “Kamu ini.” (tersipu malu)
Dewi : “Bercanda Van, aku percaya kok sama kamu.
Kalau kamu itu cerdas.”(memuji)
Idvan : “Jangan memuji seperti itu. Sebenarnya tidak
usah kamu mengorbankan les dan keingintahuanmu tentang dunia barat. Itu kan
pengetahuan juga. Kita patut untuk mengatahuinya.” (menasihati)
Dewi :”Aku baru akan mencari tahu dunia barat
setelah aku memahami benar tentang negeri kita ini. Dari Sabang sampai
Merauke.”(tersenyum yakin)
Ketika Idvan dan Dewi tengah asyik mengobrol, Helen
datang menghampiri mereka dengan wajah yang sumbringah.
Helen :”Kak Idvan...”(berlari dan berhenti tepat di
samping Idvan dengan nafas terengah-engah)
Idvan : (beranjak dari tempat duduk) “Kenapa ?
(wajahnya tampak khawatir)
Dewi : (Ikut berdiri)
Helen : “Pokoknya besok Kakak jangan bekerja.”
Idvan : (merasa aneh) “Kenapa ? Kita tidak akan
makan kalau Kakak tidak bekerja.”
Dewi :”Jangan membuat Kakakmu kebingungan. Ada apa
sih Len ?”
Helen :”Karena besok itu Helen akan Lomba Kak ! Dan
Kakak harus datang ke acara itu, Kak Dewi juga !” (kegirangan)
Idvan :”Benarkah ? Tapi Kakak kan tidak punya baju
bagus yang layak untuk dikenakan besok.” (wajahnya sedih)
Dewi :”Tenang saja, aku punya banyak baju bagus buat
kamu. Ya walaupun baju itu bekas Kakakku tapi masih layak pakai kok, gimana ?”
Helen :”Mau ya Kak, demi aku ?”(memohon)
Idvan : “Tapi aku tidak enak hati padamu, kamu
selalu baik terhadapku dan juga adikku.”
Dewi : “Tenang saja, kamu bisa membalas kebaikanku
kalo kamu mrasa tidak enak hati padaku !”
Idvan :”Baiklah, demi adik manisku.” (dia pun
menyerah)
Helen :”Bagaimana dengan Ayah ? Besok dia akan
datang kan Kak ?”
Idvan : “Kakak tidak yakin. Tapi Kakak telah
memberitahukannya pada Ayah”(sedih)
Helen :”Lalu bagaimana jawabannya ?”
Semuanya terdiam. Helen terlihat kecewa.
Dewi :” Jangan sedih Len, Ayahmu pasti akan selalu
mendykungmu dan menyemangatimu dari kejauhan sana !”(mencoba untuk mencairkan
suasana)
Helen : (mengangguk tanda mengerti)
Idvan : “Sepertinya hari telah menjelang sore, sudah
saatnya kita pulang.”
Helen : “Baiklah !” (menggapai tangan Kakaknya)
Dewi : “Ayo...”
Mereka pun pulang ke rumah mereka masing-masing.
Kesibukan hari itu terbayar dengan berita gembira dari Helen.
BABAK VIII
Suasana : Ramai
Latar Panggung : Tempat perlombaan
Keesokan harinya, Helen terlihat cantik dengan dress
yang dipinjamkan temannya Mela. Wajahnya terlihat gugup. Dia duduk di bangku
peserta.
Idvan : “Kamu terlihat sangat cantik.” (mencubit
pipi adiknya)
Dewi : “Jangan gugup, percaya diri dan yakin bahwa
kamulah yang terbaik !” (menyemangati)
Helen : “Tapi ini pertama kalinya Helen Lomba Kak,
Helen takut akan mengecewakan Kakak.”
Idvan :” Kamu tidak akan pernah mengecewakan Kakak.
Bernyanyilah dari hati dan bernyanyilah untuk Kakak.”(merangkul Helen)
Helen :”Baiklah, aku akan menyanyi untuk Kakak.”
(merasa lebih tenang)
Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya waktu untuk
Helen pun tiba.
Idvan : “Nah adik manis, ini saatnya kamu buktikan
bahwa kamu itu hebat.”
Dewi :” Cepatlah naik.”(merapikan dress Helen)
Helen : (menghela napas) “Baiklah !”
Dia pun naik ke atas panggung. Semua penonton hanya
terdiam. Tidak ada tepuk tangan satupun kecuali dari Idvan dan Dewi.
Helen :”Aku berdiri di sini untuk seseorang yang
sangat aku hormati, aku kagumi dan aku sayangi. Dia adalah pahlawan hidupku.
Aku banyak belajar darinya. Dari kesederhanaannya, dari cara pandang hidupnya
dan dari kecintaanya terhadap negeri ini. Dia adalah Kakakku. Dan lagu ini aku
persenbahkan untuknya.” (Helen menyanyikan lagu Ungu-Ku ingin selamanya)
Tepuk tangan membanjiri ruangan tersebut, bahkan
tidak sedikit yang menitikan air mata haru. Terutama Idvan dia hanya duduk
tertunduk tanpa berkata satu patah katapun. Dan Helen pun mulaui bernyanyi.
Selesai bernyanyi.
Helen :”Apakah penampilanku mengecewakan ?”
Idvan :” Luar biasa.” (terkagum-kagum)
Helen : “ Bagaimana jika aku tidak menang ?”
Idvan : “Menang atau kalah aku gak peduli. Bagi
Kakak kamu tetap jadi pemenangnya.”
Lomba pun selesai, dan inilah saatnya pengumuman
pemenangnya. Helen terasa bangun dari tidur panjangnya ketika namanya
dipanggil. Ternyata dia mendapatkan juara pertama. Sorak bergembira terdengar
dari sudut-sudut di ruangan tersebut. Helen pun bergegas naik ke panggung
diikuti Idvan dan Dewi di belakangnya.
Helen : (memerima piala dan uang sebesar Rp
3.000.000,00) “Hadiah ini aku persembahkan buat Kakakku.” (memberikan hadiah
tersebut kepada Kakaknya)
Idvan : (hanya terpaku tanpa berbicara apapun)
Kebahagiaan mereka bertambah karena Ayah helen
ternyata datang.
Ayah : “Idvan, Helen...”(berlari dan memeluk kedua
anaknya)
Idvan : “ Ayah, kok...” (kebingungan)
Ayah : “ Ayah mendapat keringanan 1 jam saja.
(menjelaskan)
Helen : “Aku senang Ayah bisa datang.”(memeluk
ayahnya)
Ternyata hidup itu tidak sesulit yang aku bayangkan,
banyak pelajaran yang aku dapatkan dari sosok Kak Idvan yang sabar dan rela
mengorbankan apapun demi aku. Terima kasih Pahlawan Hidupku, aku sangat
menyayangimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar