Senin, 20 Januari 2014

Drama Bahasa Indonesia



Pahlawan Hidupku
created by shema alleysia

BABAK 1
Suasana : Ramai
Latar Panggung : Pasar
Di sebuah perumahan kumuh di pinggiran kota, tinggal sebuah keluarga yang harus mengalami kerasnya hidup. Awalya mereka adalah keluarga paling kaya seantero jagat. Namun karena ayahnya terlibat kasus korupsi, mereka pun jatuh miskin. Ayahnya di penjara, sedangkan istri dan anak-anaknya harus bekerja banting tulang hanya untuk sesuap nasi.
Idvan : (sambil menyeka keringat dengan karung berisi terigu di punggungnya) “Hidupku memang tidak seperti dulu, senyum tak disapa, menyapa tak dianggap. Walau terasa hina hidup ini, ku yakin aku bisa melewati masa sulit ini.”
Dewi : (Datang dengan mengenakan seragam sekolah) “Hey, kau disuruh lagi sama ibu galak itu ?” ( sambil membersihkan debu di bahu Idvan)
Idvan : “Sudahlah, jangan menjelek-jelekan dia ! Bagaimanapun sifatnya, dia adalah ibuku juga !“( menyimpan karung terigu tersebut di tanah sambil berusaha tersenyum)
Dewi : “Kau itu hanya kurang beruntung kawan, andai  saja ibu kandungmu masih hidup.”(wajahnya terlihat sedih)
Idvan : “Wi, tolong jangan ungkit-ungkit ibuku lagi, ibuku sudah tenang di alam sana !” (tersenyum)
Dewi : “ Maaf Van, aku tidak bermaksud untuk menyinggung perasaanmu.” (sambil menghibur Idvan)
Idvan :” Aku ngerti kok! Ya sudah, aku harus mengantarkan ini ke sebuah toko, kalau tidak aku dan keluargaku tidak bisa makan malam ini !” (mencoba untuk mengangkat karung tersebut)
Dewi :” Andai saja aku tidak ada les Bahasa Korea, pasti aku akan membantumu Van !” (Wajahnya terlihat menyesal)
Idvan : “Jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini ! Tapi kenapa kamu les Bahasa asing bukan Bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang ada di Indonesia?” (Idvan merasa penasaran)
Dewi : “Kamu kok kuno banget sih Van.” (tersenyum meledek) “Bahasa Indonesia kan di sekolah juga diajarin. Di kota ini banyak pendatang dari seluruh pelosok Nusantara, jadi otomatis mereka tahu bahasa daerah mereka sendiri, kita coba tanya ke mereka apa susahnya, gampang kan. Untuk Bahasa daerah cukup tahu aja kali ya. Dah... Idvan !” (dia melambaikan tangannya da pergi)
Idvan : (Dia tersenyum dan melihat Dewi sampai Dewi tak nampak lagi) “ Andai kata orang yang seperti Dewi banyak, pasti tidak lama lagi bahasa daerah Nusantara akan musnah, entahlah aku bingung dengan keadaan negara ini sekarang. “
Dia pun melanjutkan pekerjaannya dengan memikul puluhan katung berisi terigu dari sebuah mobil untuk dipindahkan ke toko. Diapun mendapatkan upah dari hasil kerjanya tersebut. Kemudian ketika dia hendak pulang, dia menemukan sepotong roti di tumpukan sampah pinggir jalan yang masih layak makan dan karena perutnya merasa lapar, dia pun duduk dan memakannya.
Idvan : (beranjak dari tempat duduknya) “Sepertinya hari sudah menjelang sore, aku harus cepat pulang dan memberikan uang ini pada Ibu. Kalau tidak Ibu bisa marah-marah lagi.”
BABAK II
Suasana : Sore hari
Latar Panggung : Halaman Rumah
Idvan pulang dengan hanya membawa uang 10.000 di saku celananya. Terlihat Ibunya sedang menyapu di halaman rumahnya. Diapun langsung menghampirinya.
Idvan : “Ini hasil kerjaku hari ini !” (dia mengambil uang itu dari saku celananya dan memberikannya kepada ibunya)
Ibu Lilis : “Seharian kau melanglang buana, hanya ini yang kau dapat ? Sungguh anak tiri yang tidak berguna.” (dengan wajah yang merendahkan)
Idvan : (dengan wajah yang lembut) “Bu, aku telah mengorbankan sisa waktu mudaku demi memenuhi tuntutan tugas dari ibu. Jadi tolong hargai usahaku.”
Ibu Lilis : “Apa kamu tidak tahu atau pura-pura tidak tahu ? Perut kosong ini tidak bisa diisi dengan harga 10.000 saja.”
Idvan :” Aku tahu Bu, tapi mungkin itu cukup untuk makan malam kita nanti !”
Ibu Lilis : “Makan malam kamu bilang ?” (menjewer kuping Idvan) “Tidak ada makan malam untuk kamu dan adikmu malam ini !”
Idvan : “Jika aku tidak diperbolehkan makan aku tak masalah, tapi aku mohon Biarkan Helen makan ?” (dia meringis dan berlutut di depan Ibunya)
Ibu Lilis : “Jika ada makanan sisa baru kamu dan adikmu boleh makan.” (dia pergi meninggalkan Idvan)
Idvan hanya tertunduk. Kemudian Helen datang dengan segelas air di tangannya.
Helen : “Kakak pasti capek sekali.” (menghampiri dan memberikan air itu kepada Idvan)
Idvan : (setelah meneguk air tersebut) “Apa kamu sudah makan ?”
Helen : “Aku baru akan makan jika Kak Idvan juga makan !” (wajahnya terlihat sangat polos) “Lagi pula aku dengar kita tidak akan dikasih makan sama Ibu malam ini, bukan begitu Kak ?”
Idvan : (berusaha untuk tersenyum) “Ibu hanya bercanda adik manis, malam ini kita pasti makan.” (meyakinkan) “Sekarang kita masuk yu, hari sudah mulai gelap.” (berdiri dan merangkul adiknya untuk bersama-sama masuk ke rumah)


BABAK III
Suasana : Pagi Hari
Latar Panggung : Halaman Rumah
Namun tidak ada sesuap nasi pun yang dimakan oleh Idvan dan Helen malam tadi. Ketika Idvan bersiap-siap untuk pergi memulung, dia melihat adiknya sedang menangis di teras rumah sambil memegangi perutnya.
Idvan : (menghampiri Helen) “Kenapa Len ? Ibu marah lagi padamu ?”
Helen : (sambil menangis, dan menggelengkan kepala)
Idvan : “Terus kenapa ?”
Helen : “Lapar Kak.”
Idvan : “Kakak akan coba cari makanan ke dapur, siapa tahu ada makanan sisa yang semalam.”
Helen : “Jangan Kak !” (mencegah Idvan) “ Nanti kalau Ibu tahu, Kakak dimarahi !”
Idvan : “Jangan khawatir, Ibu tidak ada di rumah kok.”
Dia bergegas masuk ke dalam rumah, tidak lama kemudian dia datang lagi.
Idvan : (membawa sepiring nasi dan segelas air minum) “Syukurlah, ternyata masih ada makanan sisa. Tapi maaf Len, lauknya tidak ada.” ( memberikan nasi tersebut dengan wajah yang terlihat sedih)
Helen : “Tak apa Kak, yang penting kita masih bisa makan.”
Idvan: “Kok kita sih ? Yang lapar kan kamu !” (kebingungan)
Helen : “Jangan bohong Kak, Helen tahu Kakak juga lapar. Pokoknya Kakak harus makan bareng sama Helen! Kalo engga, Helen engga mau makan.” (dengan nada mengancam)
Idvan : “Baiklah !”
Dengan penuh kasih sayang Helen menyuapi Kakaknya. Merekapun makan dengan lahapnya walau hanya nasi sekedarnya.
Idvan : “Siang ini Kakak akan mengunjungi Ayah di Penjara ! Mau ikut ? Nanti Kakak jemput Helen ke sekolah !” (mengambil air dan meminumnya)
Helen : “Aku ada latihan nyanyi buat lomba Kak !” (sambil mengunyah makanan)
Idvan : “Lomba ? Kok Kakak baru tahu sekarang kalo kamu pinter nyanyi. Lagu apa yang kamu bisa ?”
Helen : (nasi dipiringnya telah habis) “Gak terlalu banyak sih Kak, tapi Helen paling suka lagu indonesia, terutama bengawan solo.” (wajahnya memerah tersipu malu)
Idvan : “Wah, hebat dong. Kapan-kapan kamu mau kan nyanyi buat Kakak ?” (menggoda Helen)
Helen : “Jika Kakak memiliki waktu luang, Helen pasti bakal nyanyi sepuasnya buat Kakak ! (meyakinkan)
Idvan : “Kalo begitu, mau titip salam ke Ayah ?”
Helen : “Helen minta Ayah datang di lomba nanti, bisa kan Kak ?” (tersenyum manja)
Idvan : (terdiam) “Kakak tidak tahu, tapi Kakak akan coba bilang ke Ayah. Baiklah adik manis, ini waktunya berangkat sekolah. Ayo !” (beranjak dari tempat duduk dan pergi ke sekolah)


BABAK IV
Suasana : Pagi menjelang siang
Latar panggung : Sekolah
Sesampainya di depan sekolah, Helen mencium tangan Idvan dan masuk ke dalam sekolah. Helen pun tidak langsung masuk ke kelas. Dia duduk di teras depan kelasnya.
Mela : “Yang tadi itu Kakak kamu ?” (menghampiri Helen)
Helen : “Iya, tampan kan ?” (tersenyum bangga)
Mela : “Dia tidak sekolah Len ?” (penasaran)
Helen : “Setelah tamat SD, tia tidak melanjutkan lagi sekolah.” (wajahnya terlihat sedih)”
Mela : “Kenapa ?”

Helen : “ Ibuku tidak terlalu cukup uang untuk bisa menyekolahkan kami berdua sehingga Kak Idvan merelakan sekolahnya dan bekerja. Awalnya akupun ingin berhenti sekolah dan membantu Kak Idvan, tapi dia melarangku. Katanya sekolah itu penting, cukup Dia saja yang merasakan putus sekolah.”
Mela : “Tapi kalo aku lihat dia itu anak yang cerdas, bukan begitu ?”
Helen : “Tentu saja, bahkan untuk sejarah bangsa Indonesia dia hafa di luar kepala. Tentang hari bersejarah, nama-nama pahlawan Indonesia, bahkan riwayat hidupnya.“
Mela : “Benarkah ? Bagaimana cara dia menghafal semua itu, sedangkan waktunya sangat sibuk untuk bekerja ?”
Helen : “Ketika menjelang tidur, Kakak selalu memintaku untuk mengajarkannya sejarah.”
(bel masuk berbunyi)
Mela : “Kepribadian Kakakmu itu sepertinya menarik, nanti kita sambung lagi ya ceritanya. Sekarang kita masuk yu !” (menggenggam tangan Helen dan masuk ke kelas)
Di tempat yang berbeda, ketika Idvan menelusuri jalan sembari mencari botol bekas, dia melihat Dewi yang tengah asyik memandangi sebuah poster artis luar negeri di depan sekolah.
Idvan : “Sendiri aja nih, belum masuk kelas ?”
Dewi : (tidak menjawab dan tetap memandangi dan menghapal nama-nama artis yang ada di poto tersebut)
Idvan : “Hebat ya, kamu bisa hafal betul nama-nama mereka.” (melihat ka arah poto yang di pegang Dewi)
Dewi : “Iya dong, mereka itu orang-orang hebat.” (membanggakan)
Idvan : “Bagaimana dengan pahlawan-pahlawan Indonesia ? Bukankah mereka lebih hebat ?”
Dewi : “Iya, aku tahu kok Van mereka sangat hebat. Tapi itu kan masa lalu.”
Idvan : “Masa lalu yang membawa perubahan besar pada negeri ini. Dan aku yakin kamu tidak hafal semua nama-nama mereka.”
Dewi : “Idvan, coba deh kamu tuh berfikir realistis aja. Di zaman sekarang ini mana ada orang yang hafal semua nama-nama pahlawan nasional. Haha mustahil.”
Idvan : “Jika ada, bagaimana ?”
Dewi : “Kalo beneran ada, aku akan berhenti untuk menggilai artis-artis ini dan menghafal pahlawan-pahlawan nasional tersebut.” (menantang)
Idvan : (tersenyum ketus) “Jangan berkata sembarangan, karena bisa jadi orang yang hafal pahlawan nasional itu adalah teman dekatmu sendiri.” (dia beranjak dari tempat duduknya)
Dewi : “Tunggu, maksudmu....”
(Tiba-tiba bel masuk berbunyi)
Idvan : “Sudahlah masuk sana, lagi pula aku juga harus bekerja.” (sembari melangkah dan pergi)
Dewi : (hanya terdiam sembari dia memandangi Idvan yang semakin menjauh) “Apa munggkin dia ?” (kebingungan) “Ah.. tidak mungkin.” (beranjak dan memasuki kelas)

BABAK V
Suasana : Hening
Latar Panggung : Penjara
Di ruang kunjungan, Idvan berbicara serius dengan Ayahnya yang semakin hari terlihat semakin kurus kering.
Idvan : “Bagaimana kondisi kesehatan ayah sekarang?”
Ayah : “Baik nak, bagaimana kondisi kamu sendiri dan adikmu, Helen?”
Idvan : “Alhamdulillah, kami semua sehat. Yah, ada titipan pesan dari Helen”
Ayah : (alis naik) “Apa itu ?”
Idvan : “Euu.. ini Yah, 2 hari lagi Helen akan mengikuti lomba bernyanyi, ia ingin Ayah datang dan mendukungnya.”
Ayah : (tertunduk)”....”
Idvan : “Bagaimana Yah ? Apakah Ayah bisa menyanggupi permintaan Helen?”
Ayah : “Andai saja bisa nak..”
Idvan : “Tapi yah, ini suatu hal yang penting untuk Helen!”
Ayah : “Ayah tahu, tapi Ayah tidak bisa melakukan apa-apa!”
Idvan : “Ah, andai saja Ayah tidak melakukan korupsi pasti minggu depan kita sekeluarga bisa mendukung Helen!” (sesenggukan)

Ayah : (hanya terdiam)
Idvan : “Kalau saja dulu tidak terjadi kecelakaan maut itu, pasti Ibu masih ada di tengah-tengah kita sekarang.
Ayah : (semakin tertunduk dan merasa bersalah) “ Bagaimana dengan Ibu tirimu ?”
Idvan : “(tersenyum ketus) “Andai saja Ayah tidak menikah lagi, pasti penderitaanku tidak akan separah ini.”
Ayah :”Sudahlah nak, jangan berbicara seperti itu. Ayah tahu semua penderitaanmu itu adalah kesalahaan Ayah.”(merendahkan diri)
Sipir : “Waktu menjenguk habis!” (sambil menarik ayah)
Ayah : “Maafkan Ayah tidak bisa menjadi Ayah yang baik untuk kalian”
Idvan : “....” (berjalan lemas meninggalkan ruangan kunjungan)

BABAK VI
Suasana : Tragis
Latar Panggung : Halaman Rumah
Batin Idvan tertekan. Air matanya tertahan. Ditambah lagi ketika dia pulang, dia melihat adik kesayangannya menangis di tempat ketika mereka makan bersama pagi tadi.
Idvan : (berlari menghampiri Helen) “Kenapa manis ? Kok nangis lagi ?”
Helen : (menunjukan luka di tangannya sambil tetap menangis)
Idvan : “ Tanganmu ? Kenapa bisa luka-luka seperti ini ?” (dia meniupi tangan Helen yang terluka)
Tiba-tiba Ibu Lilis keluar membawa tas besar.
Idvan : “Mau kemana Bu ?” (dengan wajah yang kesal)
Ibu Lilis :” Bukan urusanmu.” (berjalan menjauhi Idvan dan Helen)
Idvan : “Tunggu Bu ! Kau mau lari dari tanggung jawab setelah kau lukai adikku ?” (menunjukan luka di tangan Helen) “Bukan hanya kali ini kau memukulinya, bahkan sering. Dan sekarang kesabaranku habis.”
Ibu Lilis :” Itu karena adikmu nakal. Sudahlah, aku sudah muak dengan semua ini. Biarkan aku pergi. Aku sudah bosan hidup miskin. Aku akan mencari lelaki baru yang lebih kaya. Tidak seperti Ayahmu yang tidak berguna” (pergi meninggalkan Idvan dan Helen)
Idvan : “Ibu..Ibu... tunggu Bu !”
Tidak ada jawadan dari Ibunya. Helen menangis semakin kencang. Dan Idvan hanya terdiam memeluk adiknya.
Idvan: “Jangan nangis lagi, selama ada Kakak kamu bakal aman.” (mencoba menenangkan) “Mana tanganmu biar Kakak obati.”(mengajak Helen duduk)
Helen :”Aku takut Kak, aku takut Ibu kembali dan memukuliku.”(tangannya ditiupi Idvan)
Idvan :”Dia tidak akan kembali ! Kakak jamin.” (meyakinkan)
Helen tidur dipangkuan Idvan.
Helen :”Apakah Kakak lelah ? Aku tidak pernah mendengar Kakak mengeluh dengan semua ini.”
Idvan:”Apa yang harus dikeluhkan ? Ingatkah kamu saat zaman penjajahan dulu? Para pahlawan kita berjuang tanpa mengenal kata menyerah. Contoh Bung Tomo, dengan semboyannya Beliau bisa menyingkirkan kekuasaan Belanda di Surabaya. Dan sampai sekarang jasa Beliau diperingati sebagai hari Pahlawan. Ingatkah kamu tanggal berapa itu ?”(dia mengelus rambut Helen)
Helen:”10 November, benarkan ?” (tersenyum merasa menang) “Kakak itu juga pahlawan bagiku. Kelak kalo aku udah besar, aku gak mau menikah. Aku mau membahagiakan Kakak aja.
Idvan : “Semua orang pasti bakal menikah Len, termasuk kamu.”
Helen:”Tapi kalau aku telah menikah, kita akan berpisah Kak.” (wajahnya murung dan matnya mulai tertutup)
Idvan: (tidak memperhatikan Helen) ”Kakak tidak akan pernah meninggalkan kamu sendirian. Kakak akan selalu membahagiakan kamu. Kakak akan berusaha untuk menjadi apa yang kamu inginkan dan Kakak juga...” (melihat Helen yang telah tertidur lelap, dia hanya tersenyum)
Idvan pun menggendong adiknya masuk ke dalam rumah.

BABAK VII
Suasana : Ramai
Latar Panggung : Pasar
Beberapa hari tanpa kehadiran Ibu Lilis bagai terbebas dari dekapan harimau yang siap menerkam bagi Idvan dan Helen. Tidak ada lagi tekanan-tekanan yang mereka alami dulu. Mereka pun menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Ketika Idvan beristirahat di depan toko yang tutup, Dewi datang mrnghampiri.
Dewi : (memberikan minuman dalam botol) “Penghilang dahaga !” (tersenyum manis)
Idvan : (meminummya) “Bukankah hari ini jadwal kamu les bahasa Asing ?”
Dewi : (menghela napas) “ Aku sudah tidak ikut lagi !”
Idvan : “Kenapa ?”
Dewi : “Seseorang telah menyadarkanku.”
Idvan : (Mengangkat alis)
Dewi : “Aku berhenti mencari lebih mendalam tentang dunia barat setelah aku menemukan seseorang yang hafal betul tentang Indonesia. Sejarahnya, pahlawannya, bahkan riwayat hidupnya.”
Idvan : (mencoba menebak-nebak)
Dewi : “Jangan pura-pura tidak tahu, adikmu telah meceritakan semua tentangmu padaku.
Sekarang coba kamu sebutkan satu persatu pahlawan Revolusi.”(menantang)
Idvan : “Kamu ini.” (tersipu malu)
Dewi : “Bercanda Van, aku percaya kok sama kamu. Kalau kamu itu cerdas.”(memuji)
Idvan : “Jangan memuji seperti itu. Sebenarnya tidak usah kamu mengorbankan les dan keingintahuanmu tentang dunia barat. Itu kan pengetahuan juga. Kita patut untuk mengatahuinya.” (menasihati)
Dewi :”Aku baru akan mencari tahu dunia barat setelah aku memahami benar tentang negeri kita ini. Dari Sabang sampai Merauke.”(tersenyum yakin)
Ketika Idvan dan Dewi tengah asyik mengobrol, Helen datang menghampiri mereka dengan wajah yang sumbringah.
Helen :”Kak Idvan...”(berlari dan berhenti tepat di samping Idvan dengan nafas terengah-engah)
Idvan : (beranjak dari tempat duduk) “Kenapa ? (wajahnya tampak khawatir)
Dewi : (Ikut berdiri)
Helen : “Pokoknya besok Kakak jangan bekerja.”
Idvan : (merasa aneh) “Kenapa ? Kita tidak akan makan kalau Kakak tidak bekerja.”
Dewi :”Jangan membuat Kakakmu kebingungan. Ada apa sih Len ?”
Helen :”Karena besok itu Helen akan Lomba Kak ! Dan Kakak harus datang ke acara itu, Kak Dewi juga !” (kegirangan)
Idvan :”Benarkah ? Tapi Kakak kan tidak punya baju bagus yang layak untuk dikenakan besok.” (wajahnya sedih)
Dewi :”Tenang saja, aku punya banyak baju bagus buat kamu. Ya walaupun baju itu bekas Kakakku tapi masih layak pakai kok, gimana ?”
Helen :”Mau ya Kak, demi aku ?”(memohon)
Idvan : “Tapi aku tidak enak hati padamu, kamu selalu baik terhadapku dan juga adikku.”
Dewi : “Tenang saja, kamu bisa membalas kebaikanku kalo kamu mrasa tidak enak hati padaku !”
Idvan :”Baiklah, demi adik manisku.” (dia pun menyerah)
Helen :”Bagaimana dengan Ayah ? Besok dia akan datang kan Kak ?”
Idvan : “Kakak tidak yakin. Tapi Kakak telah memberitahukannya pada Ayah”(sedih)
Helen :”Lalu bagaimana jawabannya ?”
Semuanya terdiam. Helen terlihat kecewa.
Dewi :” Jangan sedih Len, Ayahmu pasti akan selalu mendykungmu dan menyemangatimu dari kejauhan sana !”(mencoba untuk mencairkan suasana)
Helen : (mengangguk tanda mengerti)
Idvan : “Sepertinya hari telah menjelang sore, sudah saatnya kita pulang.”
Helen : “Baiklah !” (menggapai tangan Kakaknya)
Dewi : “Ayo...”
Mereka pun pulang ke rumah mereka masing-masing. Kesibukan hari itu terbayar dengan berita gembira dari Helen.

BABAK VIII
Suasana : Ramai
Latar Panggung : Tempat perlombaan
Keesokan harinya, Helen terlihat cantik dengan dress yang dipinjamkan temannya Mela. Wajahnya terlihat gugup. Dia duduk di bangku peserta.
Idvan : “Kamu terlihat sangat cantik.” (mencubit pipi adiknya)
Dewi : “Jangan gugup, percaya diri dan yakin bahwa kamulah yang terbaik !” (menyemangati)
Helen : “Tapi ini pertama kalinya Helen Lomba Kak, Helen takut akan mengecewakan Kakak.”
Idvan :” Kamu tidak akan pernah mengecewakan Kakak. Bernyanyilah dari hati dan bernyanyilah untuk Kakak.”(merangkul Helen)
Helen :”Baiklah, aku akan menyanyi untuk Kakak.” (merasa lebih tenang)
Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya waktu untuk Helen pun tiba.
Idvan : “Nah adik manis, ini saatnya kamu buktikan bahwa kamu itu hebat.”
Dewi :” Cepatlah naik.”(merapikan dress Helen)
Helen : (menghela napas) “Baiklah !”
Dia pun naik ke atas panggung. Semua penonton hanya terdiam. Tidak ada tepuk tangan satupun kecuali dari Idvan dan Dewi.
Helen :”Aku berdiri di sini untuk seseorang yang sangat aku hormati, aku kagumi dan aku sayangi. Dia adalah pahlawan hidupku. Aku banyak belajar darinya. Dari kesederhanaannya, dari cara pandang hidupnya dan dari kecintaanya terhadap negeri ini. Dia adalah Kakakku. Dan lagu ini aku persenbahkan untuknya.” (Helen menyanyikan lagu Ungu-Ku ingin selamanya)
Tepuk tangan membanjiri ruangan tersebut, bahkan tidak sedikit yang menitikan air mata haru. Terutama Idvan dia hanya duduk tertunduk tanpa berkata satu patah katapun. Dan Helen pun mulaui bernyanyi.
Selesai bernyanyi.
Helen :”Apakah penampilanku mengecewakan ?”
Idvan :” Luar biasa.” (terkagum-kagum)
Helen : “ Bagaimana jika aku tidak menang ?”
Idvan : “Menang atau kalah aku gak peduli. Bagi Kakak kamu tetap jadi pemenangnya.”
Lomba pun selesai, dan inilah saatnya pengumuman pemenangnya. Helen terasa bangun dari tidur panjangnya ketika namanya dipanggil. Ternyata dia mendapatkan juara pertama. Sorak bergembira terdengar dari sudut-sudut di ruangan tersebut. Helen pun bergegas naik ke panggung diikuti Idvan dan Dewi di belakangnya.
Helen : (memerima piala dan uang sebesar Rp 3.000.000,00) “Hadiah ini aku persembahkan buat Kakakku.” (memberikan hadiah tersebut kepada Kakaknya)
Idvan : (hanya terpaku tanpa berbicara apapun)
Kebahagiaan mereka bertambah karena Ayah helen ternyata datang.
Ayah : “Idvan, Helen...”(berlari dan memeluk kedua anaknya)
Idvan : “ Ayah, kok...” (kebingungan)
Ayah : “ Ayah mendapat keringanan 1 jam saja. (menjelaskan)
Helen : “Aku senang Ayah bisa datang.”(memeluk ayahnya)
Ternyata hidup itu tidak sesulit yang aku bayangkan, banyak pelajaran yang aku dapatkan dari sosok Kak Idvan yang sabar dan rela mengorbankan apapun demi aku. Terima kasih Pahlawan Hidupku, aku sangat menyayangimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar